Jepara – Diperlukan keahlian khusus untuk bisa membaca kitab kuning. Para santri harus mempelajari gramatika Bahasa Arab, yakni ilmu Nahwu dan Sharaf, dalam durasi yang tidak sebentar.
Namun demikian, terobosan agar para santri bisa lebih cepat membaca kitab kuning kini sudah mulai banyak ditemukan. Beberapa Kyai berhasil membuat rumusan cepat dan menuliskannya dalam sebuah buku.
Salah satunya adalah buku bertajuk “Cara Cepat Bisa Baca Kitab Metode 33”. Buku karya KH Habib Syakur ini didiskusikan bersama dalam ajang Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) di Pesantren Roudlotul Mubtadiin Balekambang Jepara, Minggu (03/12).
Menurut penulis yang juga pengasuh pondok pesantren Al-Imdad Yogyakarta, buku ini ditulis sebagai upaya memberikan tawaran cara cepat dalam membaca kitab kuning. Diakuinya, tidak sedikit santri di pondok pesantren yang mengalami kesulitan dalam membaca kitab kuning sehingga diperlukan waktu yang relatif lama.
Buku ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: buku kosakata, buku kaidah, dan buku latihan. Ketiga buku ini tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain, karena proses pembelajarannya dilakukan di dalam satu paket pembelajaran yang tidak terpisahkan.
“Buku ini disusun tidak mengikuti bab-bab sebagaimana yang selama ini diajarkan dalam kaidah ilmu nahwu dan sharaf, tetapi pengurutan materinya sesuai dengan struktur kalimat yang sering dijumpai pada saat santri membaca teks berbahasa Arab, setelah itu berbagai struktur dan status kata yang kadang muncul kadang tidak,” ungkap dosen UIN Yogyakarta ini.
“Saya berharap, buku ini dapat membantu dan memudahkan para santri dalam membaca kitab kuning sehingga mereka tidak terlalu lama untuk dapat membaca kitab kuning,” sambungnya.
Selain buku cara cepat baca kitab kuning, buku lainnya yang ikut dibedah adalah “Hermeuneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an” karya Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin. Menurut Sahiron, buku ini merupakan salah satu hasil penelitian dirinya dalam menggeluti disiplin kajian ulumul Quran.
“Penafsiran Al Quran terus mengalami dinamikanya sendiri. Kita seringkali terjebak pada panfasiran Al Quran secara literal, sementara aspek isyari dan maqashid al-syari’ah seringkali dinafikan,” papar alumni pondok pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.
Menurut dosen UIN Yogyakarya yang juga doktor jebolan salah satu universitas ternama di Jerman ini, dalam penafsiran Al-Quran diperlukan wawasan yang sangat luas. “Horizon teks, seperti bagaimana bahasa yang digunakan, tata bahasa nahwu sharf-nya dan aspek sejarahnya atau asbabun nuzul sebuah ayat, harus diketahui. Sisi lain, horizon penafsir pun harus difahami terlebih dahulu”, papar lulusan magister dari McGill Canada.
Di dalam buku yang dibedah ini, juga terdapat uraian atas sejumlah teori hermeneutik dan ulumul quran, termasuk penafsiran QS. Al-Maidah ayat 11.(suwendi)
Sumber: kemenag.go.id