Jepara – (10/12) Matahari menari-nari di atas kepala. Hujan tengah berdamai dengan bumi kala kafilah Kompasiana tiba di tempat itu. Sebuah pusat pengetahuan tertua di kota Jepara bernama Pondok Pesantren Roudlatul Mubtadiin. Perayaan atas buku dan diskusi tengah berlangsung di sana. Ribuan santri dan warga masyarakat meramaikan perlombaan pembacaan kitab kuning nasional bertajuk Musabaqah Kiraatul Kutub (MQK) Nasional VI. Kafilah santri menyemut dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote, hadir untuk unjuk kebolehan dalam acara tersebut.
Beberapa hari sebelumnya hujan ikut mewarnai MQK VI. Tampaknya ia tak mau ketinggalan acara istimewa itu. Namun kemarin, hujan tengah beristirahat. Seolah tahu bahwa kafilah kami hanya singgah sesaat & butuh berkeliling lokasi untuk menggali data. Menggali ilmu. Cukup jauh dari kota Jepara mencapai lokasi ponpes. Pesantren itu berada di tengah kampung dan persawahan nan hijau dan sejuk. Ternyata, keramaian tak hanya milik kota saja. Desa punya caranya sendiri merayakan literasi.
MQK VI dibagi kedalam 3 marhalah (tingkatan), yaitu:
1. Marhalah Ula
Usia peserta maksimal 14 tahun 11 bulan 30 hari (maksimal lahir 1 Januari 2003).
2. Marhalah Wustha
Usia peserta maksimal Usia maksimal 17 tahun 11 bulan 30 hari (maksimal lahir 1 Januari 2000).
3. Marhalah Ulya
Usia peserta maksimal 20 tahun 11 bulan 30 hari (maksimal lahir 1 Januari 1997).
Adapun kitab yang dilombakan adalah:
Marhalah Ula
a. Fiqh : Matn Safînah an-Najâ, karya Sâlim Samîr al-Hadlary;
b. Nahw : Matn al-Âjurrûmîyah, karya Abu Abdillâh Muhamad ash-Shanhâjî;
c. Akhlaq : Washâyâ al-Âbâ li al-Abnâ’, karya asy-Syaikh Muhammad Syâkir;
d. Tarikh : Khulâshah Nûr al-Yaqîn, karya ‘Umar ‘Abd al-Jabbâr
e. Tauhid : Aqîdah al-'Awâm, karya Ahmad Muhammad alMarzûqi al-Mâliki.
Marhalah Wustha
a. Fiqh : Fath al-Qarîb al-Mujîb fî Syarh Alfâzh at-Taqrîb, karya Abû Abdillâh Syams ad-Dîn Muhammad Qâsim AlGhazziyy;
b. Nahw : Nazhm al-Âjurrûmîyah (al-‘Imrîthî), karya Syarf ad-Dîn Yahyâ al-‘Imrîthî;
c. Akhlaq : Ta'lîm al-Muta’allim Tharîq at-Ta’allum, karya Burhân al-Islâm az-Zarnûjiy;
d. Tarikh : Nûr al-Yaqîn fî Sîrah Sayyid al-Mursalîn, karya asySyaikh Muhammad al-Khudhari Bik;
e. Tafsir : Tafsir al-Jalâlain, karya Jalâl ad-Dîn al-Mahalliy & Jalâl ad-Dîn as-Suyûthiy;
f. Hadis : Al-Majelis al-saniyah Fil al-kalam Ala Arba’in An Nawawiyah (Syarh Kitab Al-arbain An-Nawawi), karya Syaikh Ahmad bin Hijazi Al Fasyani;
g. Ushul Fiqh : Al-Waraqat, karya Abu al-Ma’ali Abdul Malik al Haromain;
h. Balaghah : Al-Jauhar al-Maknûn, karya Abd ar-Rahmân Shaghîr Al-Akhdlariy;
i. Tauhid : Risâlah Ahl as-Sunnah Wa al-Jamâ'ah, karya KH. Hasyim Asy'ari.
Marhalah Ulya
a. Fiqh : Fath al-Mu’în bi Syarh Qurrah al-‘Ain bi Muhimmât adDîn, karya Ahmad Zain al-Dîn al-Malîbârî; b. Nahw : Syarh Ibn ‘Aqîl ‘alâ Alfîyah Ibn Mâlik, karya Bahâ’ adDîn Abdullâh Ibn ‘Aqîl;
c. Akhlaq : Mukhtashor Ihya ‘Ulumu al-Din, karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali;
d. Tarikh : Ar-Rahîq al-Makhtûm, karya Shafiy ar-Rahmân alMubârakfûri;
e. Tafsir : Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân al-Majîd, karya asy-Syaikh Muhammad ‘Umar Nawawi al-Jâwî;
f. Ilmu Tafsir : Al-Itqân Fî Ulûm al-Qur’ân, karya Jalâl ad-Dîn asSuyûthiy;
g. Hadis : Nuzhatul Muttaqin Syrah’ala Riyadh ash-Shalihin, karya al-Syaikh Dr. Musthofa al-Bugho;
h. Ilmu Hadits : Manhaj Dzawî an-Nazhar Syarh Mazhûmah al-Atsar, karya Syekh Mahfud Termas;
i. Ushul Fiqh : Syarh al-Luma’ Bayan al-Mullama’ ‘an al- Lafzhi alLuma’, karya KH.Sahal Mahfuzh al-Jawi; j. Balaghah : Uqûd al-Jumân, karya Jalâl ad-Dîn as-Suyûthiy
k. Tauhid : Hâsyiyah ad-Dasûqî ‘alâ Umm al-Barâhîn li asSanûsiy, karya asy-Syaikh Muhammad ad-Dasûqî.
Desa ternyata bukan hanya tempat kaum marhaen memanen hasil bumi. tapi desa juga menjadi tempat para santri menggali ilmu dan budi pekerti. Memupuk nalar dan jati diri. Desa bukanlah tempat yang sunyi dan tak berarti. Desa memiliki kemewahannya sendiri dalam balutan tradisi. Aku kagum jua bahagia melihat adik-adikku santri, putri maupun pria, sibuk membaca buku bertajuk kitab kuning. Membaca tulisan Arab gundul dan tafsir kitab beragam tema. Tak ada beda satu dengan yang lainnya. Baik yang berasal dari kota ataupun desa. Di depan ilmu pengetahuan, semua anak manusia sama dan setara.
Santriwan lantang membaca kitab Fiqih, santriwati lihai berdebat bahasa Inggris. Aku jadi malu dibuatnya. Bahasa Inggrisku belum tentu lebih baik dari mereka. Apalagi bahasa Arab. Padahal aku ini (katanya) sarjana dan hidup di kota. Tapi tak lihai bahasa Inggris, tak mahir bahasa Arab. Untung saja, kawan-kawan seperjalananku tak tahu itu semua. Kalau tidak, mau ditaruh mana mukaku ini?
Kaum Santri dan Budaya Literasi
Dari pertemuan dan perbincangan dengan penyelenggara, aku semakin tahu bahwa pesantren kental dengan budaya literasi. Kitab suci, hadis, dan tentu saja kitab kuning dibaca sedari dini. Kitab kuning berisikan beraneka ilmu pengetahuan penting, mulai dari tata bahasa Arab, hadis, tafsir, fiqih, aqidah, akhlak, serta tidak lupa mu'amalah(kemasyarakatan) dan ilmu sosial. Semua dipelajari agar tak hanya pandai melaksanakan ibadah ritual, tapi juga pandai membawa diri di masyarakat. Kitab kuning dan tradisi masyarakat hidup serasi berdampingan.
Hari-hari ini cukup lelah rasanya melihat potret agama yang eksklusif. Sibuk menonjolkan kelompoknya sendiri, kafilahnya sendiri. Memandang rendah pada kelompok yang lain. Seolah Islam menjadi miliknya sendiri. Yang tidak sewarna, patut dicerca dan dihujat. Cobalah tengok sosial media sesaat. Isinya melulu perdebatan tak bermanfaat.
Padahal Nabi mengajarkan perilaku santun. Islam disyiarkan dengan merengkuh hati, bukan menyakiti. Islam selayaknya merangkul, bukan memukul. Islam menyebarkan keselamatan, bukan melulu ancaman. Sungguh, sosial media kadang membuat jengkel. Katanya banyak orang memakai telepon pintar, tapi tidak banyak yang menjadi pintar. Rasanya percuma saja memakai telepon pintar, tapi hati dan kepala tidak ikutan pintar. Huh!
Tapi di sini kurasa berbeda. Santriwan dan santriwati berdebat (bukan adu otot) dalam hal ilmu pengetahuan demi mencari pemahaman yang lebih baik. Kalah menang dalam lomba itu biasa. Yang kalah harus tekun belajar, yang menang tak boleh besar kepala. Oh, alangkah indahnya jika kita semua mampu menerima. Bukankah hidup sejatinya adalah lomba beribadah kepada Tuhan?
Tapi jangan lupa, berbuat baik kepada sesama juga perbuatan berpahala. Bahkan memberi senyum pun dianggap ibadah. Apalagi jika mau berbuat lebih dari itu. Berbuat baik kepada seluruh umat manusia. Bukan hanya kepada umat seagama. Bukankah itu yang dicontohkan dalam hikayat para Nabi?
Fenomena Selfie dalam Agama
Tak bermaksud sombong. Aku memang berasal dari kota. Rumah kos yang kutinggali berada diantara hotel dan mall. Tentu jauh dari sawah dan desa. Kebiasaan orang kota kalau berada di tempat baru, langsung selfie dan upload di media sosial. Tapi bukan untuk selfie, kafilah Kompasiana diundang datang. Petuah dari Koordinator Humas MQK VI, Bapak Muhtadin, S. Ag. begitu menggugah.
Kami diundang untuk berinteraksi dengan santri dan warga, bukan sekedar pasang aksi di depan layar gawai enam inci. Pembaca harus menyimak nasihat beliau:
“Kalau orang baru datang ke Semarang, biasanya selfie di simpang lima lalu upload di media sosial. Kadang hanya foto di satu-dua lokasi, tapi merasa sudah mengerti seluk-beluk Semarang seluruhnya. Hal yang sama terjadi dalam fenomena di lingkungan keagamaan. Orang baru mempelajari satu hadis atau satu ayat, tapi seolah-olah sudah tahu semua kandungan Islam. Pemahaman itu lantas diajarkan dan dipaksakan dimana-mana. MQK ini mengajak masyarakat untuk kembali mengenal kitab kuning sebagai khazanah ilmu yang luar biasa dan memahami ajaran Islam secara lebih mendalam,” ucap Pak Muhtadin kepada kafilah Kompasiana, Sabtu (2-12-2017) di lokasi acara.
Nasehat Pak Muhtadin begitu menohok. Telepon pintar ternyata justru menambah orang yang sok pintar, tapi minim ilmu. Minim bacaan. Tentu saja aku juga pernah merasa seperti itu. Hobi meng-copy tulisan di sana-sini, merasa diri bak ilmuwan jempolan. Sungguh, aku tersadar. Aku tertampar.
Pak Muhtadin juga mengajak kami untuk ikut mengabarkan nilai penting kitab kuning dan makna pesantren dalam kehidupan modern. Pesantren jadi gudang pengetahuan bertahun-tahun, walau kadang tiada selembar ijazah yang jadi penanda kelulusan. Tapi, apakah ilmu pengetahuan butuh selembar kertas pengakuan? Apakah jadi orang berilmu harus memajang gelar panjang-panjang di belakang namanya?
Padahal, bukankan ilmu sejati letaknya di dalam hati, bukan alat berbangga diri. Apalagi alat untuk menghakimi sesama. Tapi dunia modern butuh ijazah. Pesantren dituntut berbenah. Menambah mata pelajaran seperti kurikulum nasional. Sebagai bekal siswa menghadapi dunia luar. Tradisi keagamaan yang kental di pesantren berbaur dengan tuntutan ilmu pengetahuan modern.
Pesantren kian berbenah untuk mengikuti perkembangan zaman. Tapi sepantasnya kita tak lupa pada kiprah pesantren dalam menyebarkan ilmu pengetahuan hingga pelosok desa yang tak terjamah mata. Pesantren perlu berkenalan dengan modernitas. Begitu pula sebaliknya, modernitas perlu mengenal pesantren dan segala tradisinya. (Iswan Heri)
Sumber: kompasiana.com
Hi! Soneone in my Facebook grop shuared this website wiyh uus so I came tto look iit over.
I’m definitely loving tthe information. I’m book-marking andd will bbe tweeting this tto myy followers!
Suoerb blog aand superb style and design.